Menginjakan
kaki dan bersekolah di Jerman tidak pernah ada dalam benak saya saat itu yang
hanya seorang anak SMA di Denpasar, sebuah kota kecil di selatan Pulau Bali,
sebuah pulau kecil yang indah diantara ribuan pulau di Indonesia.
Bagi
saya saat itu, tujuan utama adalah melanjutkan studi di salah satu dari 5
universitas favorit di Indonesia dan pada akhirnya pilihan saya jatuh di
Universitas Indonesia, universitas tertua yang ada di Indonesia. Latar belakang
pilihan saya cukup jelas, saya ingin
mendapat pengalaman yang lebih dan juga tentunya kualitas pendidikan terbaik
yang ada di negeri ini.
Setelah
kurang lebih 3 tahun melanjutkan studi di Universitas ini, cakrawala pemikiran
dan sudut pandang pribadi perlahan mulai terbuka. Kesempatan bertemu
tokoh-tokoh nasional dan internasional menjadi sebuah motivasi agar terus
berkarya. Berkarya untuk menjadikan dunia menjadi lebih baik lagi.
Pengalaman
yang sangat berkesan adalah ketika berkesempatan mengikuti kuliah umum oleh Prof.
Habibie dilanjutkan pada akhir sesinya mengobrol dan berdiskusi ringan dengan
beliau. Semenjak itu saya mulai mengenal Jerman. Sebuah negara tempat lahirnya
berbagai macam pemikiran dan penemuan yang mengubah hidup manusia.
Namun
tetap, bagi saya Jerman terlalu jauh, terlalu susah dan sulit untuk digapai.
Meskipun sudah mulai memikirkan untuk setidaknya menginjakan kaki di negara
itu, tantangan yang ada terlalu besar. Dibutuhkan setidaknya beberapa tahun
persiapan menurut saya.
Selepas
lulus S1, setelah gagal mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di
Universitas Indonesia, saya hampir saja melupakan keinginan untuk pergi ke
Jerman. Ditengah sibuknya menyiapkan kehidupan pasca kampus dengan mengirimkan
aplikasi untuk melamar pekerjaan di beberapa perusahaan multinasional di
Indonesia, Prof. Nandy menelpon saya. Beliau merupakan pembimbing skripsi saya
dan kebetulan beliau merupakan lulusan Jerman. Beliau bertanya kepada saya
dengan kalimat yang hingga kini masih terngiang-ngiang di kepala saya, “ Putu
mau sekolah ke Jerman ? tapi harus sekolah dulu satu tahun di Thailand,
beasiswanya dengan beasiswa DAAD”. Saat itu, 3 hari menjelang penutupan
pendaftaran beasiwa DAAD dengan Skema TGGS (Thai-German Graduate School of
Engineering) kerjasama antara King Mongkut’s University of Technology North
Bangkok (KMUTNB), Thailand dengan Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule
(RWTH) Aachen University.
Melewati
perjalanan panjang yang mungkin saya belum bisa ceritakan di tulisan ini, 18
Juli 2014 saya menginjakan kaki di Aachen, Jerman.
Terkadang,
kita tak pernah tahu rencana yang diatas. Tidak pernah samasekali terpikir, Denpasar (Jakarta – Bangkok) – Aachen tercapai dalam usia yang cukup
muda 22 tahun.
(Bersambung..)
Comments
Post a Comment