Menjadi Mahasiswa dan Sloka Bhagavad-Gita Bab II.47




Menjadi Mahasiswa dan Sloka Bhagavad-Gita Bab II.47


Mahasiswa. Sebuah kata Elegan dan sarat makna yang terdengar nyaring ketika  seseorang bertanya mengenai kegiatan atau profesi yang tengah saya tekuni saat itu. Dengan bangga dan penuh keyakinan saya menjawab : saya Mahasiswa. Ya, saya seorang Mahasiswa. Terdengar cukup arogan, tapi sebelum menjawab tentu jawaban ini akan saya pertanggung jawabkan dengan segenap hati. Bukan dipertanggung jawabkan dengan menunjukan Kartu Mahasiswa. Bagi saya ini bukan sekedar status. Ini sebuah pencapaian dan tanggung jawab.


Aksi Mahasiswa Mei 1998 (Ilustrasi)


Mahasiswa, dirasa perlu membagi kata tersebut dari asal muasalnya. Terselip kata : “Maha” mengawali kata “Siswa”. Tentu jelas, Maha berarti Besar, Agung atau Kokoh. Lantas, Bagaimana menjadi seorang siswa  yang Agung tersebut ? tidak bermaksud menggurui hanya ingin berbagi pengalaman, ya bisa dibilang mungkin saya lebih dahulu merasakan jadi seorang mahasiswa atau mungkin saya lebih sering merenung ketika menjadi seorang mahasiswa sehingga terlintas di kepala untuk menulis tentang hal ini.
Sebagai seorang Brahmacarya yang berada dalam masa Brahmacari, seperti disebutkan dalam Weda dan coba saya pikirkan dengan logika manusia yang terbatas ini, Mengapa sebagai seorang Hindu fase-fase dalam kehidupan kita di bagi menjadi 4 Fase dan fase awalnya adalah fase Brahmacari ?.
Cukup berasalan ternyata fase tersebut diawali dengan fase Brahmacari. Seperti yang diketahui bersama fase ini mewajibkan kita untuk menuntut Ilmu Pengetahuan setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya (bukan berarti di fase lain tidak boleh) dan fokus kita hanya satu yaitu belajar. Belajar kehidupan. Melajahang Awak kata Tetua di Bali. Ternyata nantinya fokus kita akan berubah setelah melewati fase ini dan kesalahan yang kita lakukan akan berkurang taraf toleransi yang diberikan kepada kita.
Bisa melakukan kesalahan di kelas bukan ? tapi tentu ada dampaknya, misal tidak lulus mata kuliah atau dapat nilai C dan bisa diulang di semester berikutnya. Tapi jangan harap hal tersebut terjadi juga di masyarakat. Anda melakukan kesalahan di masyarakat, anda tidak dapat mengulang kembali untuk “mencuci” nya menjadi lebih baik. Yang ada adalah, anda melakukan kebaikan yang lain agar keburukan yang telah dilakukan kadarnya terlihat berkurang karena ditutupi oleh kebaikan yang anda lakukan kemudian. Ini yang saya maksud taraf toleransi kita akan dikurangi ketika melakukan sebuah kesalahan oleh orang disekitar kita.
Mengapa fase Mahasiswa merupakan sub fase yang paling penting dalam mas Brahmacari ? tidak lain dan tidak bukan adalah karena fase ini adalah akhir dari masa Brahmacari yang kita lakukan. Seperti yang saya tulis sebelumnya, Bisa, pasti bisa juga belajar sambil kerja, atau sambil menjadi seorang Ayah atau Ibu, tapi fokusnya akan berkurang. Tidak akan sama fokus yang anda miliki. Akibatnya, hasilnya juga mungin kurang sehebat ketika fase Mahasiswa kita letakan pada Masa Brahmacari.
Bagaimana agar fase Mahasiswa dalam masa Brahmacari ini dapat menjadi fase yang benar benar bermanfaat bagi masa selanjutnya dalam Catur Purusa Artha ? bagi saya jawabannya sangat sederhana. Mari kita ikuti, resapi , hayati dan aplikasikan Sloka Bhagavad Gita Bab II.47. Berikut slokanya :

karmaṇy evādhikāras te
 karma-phala-hetur bhūr
 te sańgo 'stv akarmaṇi
(Bhagawad Gita Bab II Sloka 47)

Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu yang kau pikirkan, jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tanpa kerja


Pertama kali membaca sloka ini cukup membuat kepala saya berpikir keras. Segenap pikiran dan logika saya kerahkan untuk mendapat arti sloka ini dan wujud aplikasi yang dapat saya lakukan. Coba bayangkan, bagaimana kita berbuat hanya demi sebuah kewajiban kita tanpa sedikitpun kita mengharapkan hasilnya ? melakukan kerja tanpa motif yang diharapkan  jikalau nantinya pekerjaan itu selesai ? dan kita tidak boleh diam tanpa melakukan apapun ? ini susah dan tidak mungkin dilakukan. Tapi tunggu dulu, ternyata sloka ini mengajarkan kita sebuah makna yang terpenting ketika menjadi seorang Brahmacarya. Ada baiknya kita coba membagi arti sloka tersebut menjadi sub aspek. Disini ada 3 sub aspek yang disebutkan yaitu 1. Melaksanakan Kewajiban. 2. Berbuat tanpa mengharapdan memikirkan hasil 3. Jangan hanya berdiam diri (bermalas-malasan tanpa melakukan kewajiban).
                                                                                                                             






Sri Kresna memberikan wejangan kepada Arjuna




Sekarang kita tinjau satu persatu sub aspek tersebut. Sebagai seorang mahasiswa, kewajiban kita adalah belajar dan menuntut ilmu setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya. Itu kewajiban kita, sudah sangat jelas. Setiap hari kita pergi ke kelas, diskusi dengan dosen, membaca buku dan mengerjakan tugas atau PR. Itu harusnya kita sadari SEMATA-MATA KARENA HAL TERSEBUT ADALAH KEWAJIBAN kita.  Anda membaca buku siang dan malam, membuat tugas sampai tidak tidur, dan tiap hari pergi ke kampus ambil sks banyak, itu kembali sadari semata-mata untuk memenuhi kewajiban kita. Manusia bisa hidup setiap harinya karena tahu ketika bangun pagi dia sadar ada sesuatu yang harus dikerjakan. Ya, itulah Kewajiban.

Baik, melaksanakan kewajiban sudah, tapi pertanyaan terbesarnya adalah Bagaimana melaksanakan kewajiban tanpa mengharap hasil ? contoh nyata, kita mengerjakan tugas sampai larut malam bahkan begadang agar nantinya dapat nilai akhir A. “gue harus nih kerjaen tugas gue sebaik-baiknya agar nanti gue dapet nilai A, masalahnya mata kuliah ini SKSnya 20 dan penilaiannya 99% dari tugas ini dan gue Cuma ambil sks 21 semester ini dan matakuliah lainnya adalah MPKS Tari dan Karawitan Bali yang gue gak mungkin dapet A karena gue gak bisa nari (gumam si Alit dalam hati)”. Ya, memang susah dan tidak gampang melakukan sesuatu tanpa berpikir hasilnya bagaimana nantinya. Tapi jangan berkecil hati dulu. Dalilnya adalah seperti ini : Setiap pekerjaan atau perbuatan pasti ada hasilnya dan hasil tersebut akan selalu ada apabila melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan. Selalu ada hasil tidak mungkin tidak ada hasil. Disebut dengan istilah INHEREN. Kamu makan hasilnya kenyang, kamu olahraga hasilnya sehat, kamu menulis hasilnya tulisan. Sudah ada dan selalu ada hasil tersebut. Nah, karena HASILNYA SUDAH ADA, lantas mengapa kita MASIH PIKIRKAN HASILNYA ?

Apa dampaknya apabila kita berbuat karena hanya ingin hasil atau keuntungan dari perbuatan itu ? menurut saya dampaknya ada dua yakni :

1. Kekecewaan dan penderitaan yang kita dapatkan apabila hasil perbuatan tersebut tidak sesuai dengan yang kita motifkan. Hal ini sudah pasti, karena kita terikat oleh motif tersebut. Misanya : ternyata si Alit dalam contoh sebelumnya tersebut, dia menargetkan untuk dapat nilai A, dan ternyata karena dosennya mematok nilai A hanya untuk Tuhan dan A- untuk dia sebagai dosen, selebihnya maksimal hanya B+ maka sial bagi si Alit, dia akan dapat maksimal nilai B+.Setelah membuka SIAK NG, si Alit langsung menangis tersedu-sedu dan mengurung diri di kamar tidak makan dan tidak minum dan akhirnya di sakit dan trauma sehingga tidak ingin melanjutkan kuliahnya. Sudah semakin nyata bukan, Jangan bekerja tanpa mengharapkan hasilnya.

Dampak yang kedua :
2. Tidak akan berbuat sesuatu karena hal tersebut tidak menguntungkan diri sendiri .
“Buat apa gue belajar, orang dosennya nilainya Gaib. Masa hasil ujian diletakin diatas meja, dan kemudian ditiup pake kipas angin, yang jatuh paling jauh dapet E.”  Akibatnya si Alit ngga belajar, ternyata oh ternyata, mata kuliah ini adalah dasar yang sangat penting untuk matakuliah-matakuliah selanjutnya. Semester berikutnya si Alit tidak bisa mengerti sedikitpun karena dia tidak belajar matakuliah dasar ini. Sudah jelas belum mengapa Kita tidak boleh memikirkan hasil dalam berbuat ? kita tidak akan bisa menunjukan kemampuan terbaik yang kita miliki apabila masih berpanutan pada hasil.

Sudah panjang lebar saya jelaskan pemikiran saya tentang hal ini. Tapi kemudian ada pertanyaan baru lagi yang terlintas, Mengapa sebagai mahasiswa kita yang harus terlebih dahulu mengamalkan Sloka ini ? kenapa tidak nanti saja setelah bekerja atau berumah tangga ? Baik saya coba jawab. Pada awal awal tulisan ini saya sebutkan bahwa Mahasiswa berbeda dengan siswa kebanyakan karena mendapat predikat “Maha” yang berarti Agung atau Besar. Sebagai seorang yang telah di beri predikat Agung tersebut, agaknya kurang pas apabila kita tidak bisa menunjukan keAGUNGan dan ke BESAR an kita sebagai seorang mahasiswa apabila masih berpacu pada hasil dan keuntungan dalam bertindak.
Ingat bahwa Mahasiswa telah berjasa menurunkan dua orde pemerintahan di Indonesia. Orde Lama dan Orde Baru. Reformasi pun terjadi karena Mahasiswa. Mahasiswa berbeda karena Idelismenya Terjaga. Tidak ada kepentingan-kepentingan yang menyelimuti perjuangan kita sebagai mahasiswa. Tapi sekarang Idealisme kita sebagai mahasiswa nampaknya cukup diragukan. Opini saya adalah “Karena semakin lama, mahasiswa hanya berpacu pada hasil semata dan keuntungan instant pada setiap aspek ke mahasiswaannya, bukan menekankan pada pentingnya proses”. Ini juga menurut saya yang membuat negara kita semakin lama semakin “rusak” karena setiap detik penyimpangan-penyimpangan yang terjadi adalah karena aparatur negara kita hanya mementingkan hasil instant saja, bukan pada PROSES MENDAPATKAN HASIL tersebut. Percaya sama saya, jika kita sebagai mahasiswa yang  merupakan ujung tonggak pembangunan Keluarga, Bangsa dan Negara, serta Agama kita masih mementingkan hasil daripada proses tersebut, seratus tahun pun tidak akan cukup membuat Indonesia maju. Yakin saya.

Berikut saya ambil sebuah cerita yang cukup menggambarkan apa yang saya koar-koarkan sejak awal tulisan ini.

KISAH SI PEMATUNG
Suatu ketika, hiduplah seorang pematung. Pematung ini, bekerja pada seorang raja yang masyhur dengan tanah kekuasaannya. Wilayah pemerintahannya sangatlah luas. Hal itu membuat siapapun yang mengenalnya, menaruh hormat pada raja ini.
Sang pematung, sudah lama sekali bekerja pada raja ini. Tugasnya adalah membuat patung-patung yang diletakkan menghiasi taman-taman istana. Pahatannya indah, karena itulah, ia menjadi kepercayaan raja itu sejak lama. Ada banyak raja-raja sahabat yang mengagumi keindahan pahatannya saat mengunjungi taman istana.
Suatu hari, sang raja mempunyai rencana besar. Baginda ingin membuat patung dari seluruh keluarga dan pembantu-pembantu terbaiknya. Jumlahnya cukup banyak, ada 100 buah. Patung-patung keluarga raja akan di letakkan di tengah taman istana, sementara patung prajurit dan pembantunya akan di letakkan di sekeliling taman. Baginda ingin, patung prajurit itu tampak sedang melindungi dirinya.
Sang pematung pun mulai bekerja keras, siang dan malam. Beberapa bulan kemudian, tugas itu hampir selesai. Sang Raja kemudian datang memeriksa tugas yang diperintahkannya. Bagus. Bagus sekali, ujar sang Raja. Sebelum aku lupa, buatlah juga patung dirimu sendiri, untuk melengkapi monumen ini.
Mendengar perintah itu, pematung ini pun mulai bekerja kembali. Setelah beberapa lama, ia pun selesai membuat patung dirinya sendiri. Namun sayang, pahatannya tak halus. Sisi-sisinya pun kasar tampak tak dipoles dengan rapi. Ia berpikir, untuk apa membuat patung yang bagus, kalau hanya untuk di letakkan di luar taman. ?Patung itu akan lebih sering terkena hujan dan panas,bukan ? ucapnya dalam hati, pasti akan cepat rusak.
Waktu yang dimintapun telah usai. Sang raja kembali datang, untuk melihat pekerjaan pematung. Ia pun puas. Namun, ada satu hal kecil yang menarik perhatiannya. Mengapa patung dirimu tak sehalus patung diriku? Padahal, aku ingin sekali meletakkan patung dirimu di dekat patungku. Kalau ini yang terjadi, tentu aku akan membatalkannya, dan menempatkan mu bersama patung prajurit yang lain di depan sana.
Menyesal dengan perrbuatannya, sang pematung hanya bisa pasrah. Patung dirinya, hanya bisa hadir di depan, terkena panas dan hujan, seperti harapan yang dimilikinya.

Dari cerita tersebut dapat kita ketahui, apabila seaindainya si Pematung tersebut tidak memikirkan nantinya patung dirinya akan diletakan disebelah mana, dan tetap membuat patung sebagus mungkin walau itu patung dirinya sendiri tentu sang Raja akan tetap meletakan patung si Pematung tersebut bersebelahan dengan Patung dirinya sendiri Bukan ? dan Si Pematung akan menjadi terkenal dan terhormat. Hal tersebut terjadi karena si Pematung terbelenggu dengan “Hasil” (dalam hal ini tempat peletakan patung dirinya”. Sudah sangat jelas, mari berbuat, bekerja, belajar sebaik-baiknya , jangan pikirkan hasil.


Saya sendiri pun belum bisa lepas dari ikatan hasil ketika melakukan sebuah kerja, tapi saya terus melakukan tindakan tindakan ke arah “pelepasan keterikatan” tersebut.

Jadi mulai saat ini, mari bersama-sama berusaha melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki tanpa mengharap hasil yang diperoleh. Hasil akan berbanding lurus dengan Proses. Jadi tidak usah dipikirkan. Semoga Bermanfaat.






Comments

  1. nice banget gan,, saya jadi terinspirasi

    ReplyDelete
  2. Mānava Dharmaśāstra - SLOKA II-47

    ऋज वस्ते तु सर्वे स्युर व्रणः सौम्य दर्शनाः
    अनुद्वेगकरा न्æणां सत्वचो नाग्नि दूषिताः

    ṛja vaste tu sarve syura vraṇaḥ saumya darśanāḥ
    anudvegakarā næṇāṁ satvaco nāgni dūṣitāḥ

    Artinya:

    Tongkat itu hendaknya lurus, tidak ada cacat (dimakan ulat), indah bentuk­nya, tidak menakutkan orang, dengan kulitnya yang tak terbakar oleh api.

    ReplyDelete

Post a Comment