LOMPATAN KUANTUM ANAK BALI

Kali ini saya akan memposting cuplikan wawancara majalah SWA sembada dengan salah satu pengusaha sukses, putra asli Bali yg juga merupakan paman saya : Ir. Ketut Gede Yudantara . semoga mampu menginspirasi !




Lompatan Kuantum Anak Bali
Kamis, 19 Agustus 2004
Oleh : Ishak RafickSetelah sukses menjadi profesional di Astra Agro Lestari, Ketut Gede Yudantara nekat bikin usaha sendiri. Bagaimana dia meniti sukses?

Terus jadi profesional? No way. Begitulah jalan hidup yang ditempuh Ketut Gede Yudantara. Sukses meniti karier di perusahaan orang lain, tak membuatnya terninabobokan. Jiwa wirausahawannya terus menggelora, hingga ia memutuskan untuk berbisnis sendiri. Kini, ia tercatat sebagai salah satu pemilik PT Wahana Citra Nabati, perusahaan agrobisnis. Agrobisnis merupakan bidang bisnis yang pernah digeluti Yudantara semasa ia sebagai profesional di PT Nesea Food, perusahaan makanan ringan, PT Sumber Abadi Tirta Sentosa dan PT Dwi Leo.

?Langkah yang diambil Yudantara tidak keliru,? ujar Benny Subianto, mantan Presdir PT Astra Agro Lestari (AAL). Ketika menjadi profesional, lanjutnya, ia mempunyai track record bagus. ?Ia mempunyai leadership tinggi dan bisa memegang orang,? tutur mantan bos Yudantara ini.

Yudantara memulai karier sebagai profesional di PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP) -- perusahaan kelapa sawit -- yang berlokasi di Riau, Pekanbaru. Awalnya alumni Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER, sekarang Instiper) Yogyakarta ini cuma diserahi tugas sebagai Asisten Kepala Riset dan Pengembangan. Tak sampai dua tahun kemudian, dia dipercaya menempati posisi Manajer Perkebunan. Posisi itu ditempati Yudantara selama 1985-86.


Bapak Ir. Ketut Gede Yudantara (kanan jaket hitam ) bersama Gubernur Bali Made Mangku Pastika (kiri baju putih)


Bintangnya semakin bersinar ketika Grup Astra mengakuisisi TPP.  Waktu itu dia ditugasi bosnya yang baru merestrukturisasi karyawan di perusahaan perkebunan itu. Pria kelahiran Bali, 30 September 1955 ini bekerja cepat.  Dia menurunkan beberapa asisten menjadi mandor, sehingga pekerjaan lebih efisien dan efektif. Di sisi lain, dia berhasil mengembangkan area perkebunan dari 5 ribu ha menjadi 10 ribu ha.  Prestasi ini melebarkan jalan Yudantara untuk dipromosikan menjadi Penasihat Teknis Operasional dan berkantor di Jakarta (1987).  Jabatan itu memberinya tanggung jawab yang lebih bergengsi, yaitu menangani operasional Grup Sari Lembah Subur  (SLS) yang merupakan cikal bakal AAL.

Di Astra bintang Yudantara terus bersinar. Ini terbukti dua tahun kemudian, dia dipromosikan menjadi Direktur Area SLS. Daerah ?kekuasaan?-nya meluas, mencakup 10 perkebunan cokelat dan teh di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Begitulah, Yudantara lantas menangani operasional perkebunan PT Topasari, POT Gunung Aji Jaya, PT Rumpun Sari Medini, PT Rumpun Sari Kemuning, PT Rumpun Sari Antan.  "Saya diberi tanggung jawab secara keseluruhan mengelola perkebunan di Pulau Jawa," katanya.  Setiap ladang perkebunan yang ia tangani memiliki luas 700-1.500 ha.  Sukses menangani perkebunan di Jawa, tahun 1992,  perkebunan kelapa sawit di Sulawesi dan Kalimantan -- total sekitar 60 ribu ha -- masuk pula dalam portofolio perkebunan yang ditanganinya.

Tak berhenti sampai di situ.  Tahun 1997, ketika seluruh perkebunan tersebut digabung seiring go public-nya AAL, Yudantara semakin berkibar. Lelaki ini dipromosikan sebagai Direktur Pemasaran.  Posisi ini dilakoninya selama dua tahun. Dia berhasil memperluas pasar ekspor produk AAL. Apalagi saat itu Dewi Fortuna memang lagi berpihak padanya.  Harga komoditas ekspor produk perkebunan, seperti cokelat dan kelapa sawit lagi bagus-bagusnya.  Kurs US$ juga lagi berjingkrak di tempat tinggi, sehingga nilai ekspor pun meningkat.

Ditangani Yudantara, AAL berhasil mengekspor 6 ribu ton kelapa sawit/bulan --  sekadar menyebut sebagian -- ke India dan Cina. Prestasi segudang itu rupanya tak membuat suami Ratna Dewi Trisnawati itu puas.  Jiwa wirausahawannya yang selama ini bersembunyi di balik jabatannya sebagai profesional memberontak.  Dia merasa jenuh bekerja buat orang lain.  Lalu dia pun melakukan lompatan kuantum dengan mendirikan perusahaan sendiri, PT Wahana Citra Nabati (WCN) pada 1999.  "Saya sebenarnya bukan tipe karyawan.  Saya susah diperintah.  Kalau sudah tidak mau, ya tidak mau," tutur Yudantara mengenang. Ia mengaku sudah lama sebenarnya ingin merintis bisnis sendiri.  Cuma ada kendala permodalan. Dalam WCN, ia bekerja sama dengan Hendarto Tjokro Setio.  "Kalau saya bisa menyukseskan perusahaan orang lain, saya yakin akan dapat melakukannya untuk diri sendiri," ungkapnya penuh percaya diri.

Hendarto sendiri mengaku sudah lama kenal Yudantara, jauh sebelum mereka mendirikan WCN. Menurutnya, mereka bisa bermitra karena punya misi dan visi sama dalam berbisnis. Di WCN mereka berbagi tugas. Yudantara lebih banyak menangani perkebunan, sedangkan Hendarto di pemasaran hasil produksi WCN. ?Ini merupakan sinergi dua kekuatan,? ia menegaskan.

Untuk merintis bisnisnya sendiri yang memerlukan investasi sekitar Rp 15 miliar, Yudantara mengaku telah merogoh kantongnya sendiri Rp 6 miliar.  Itu semua merupakan hasil tabungannya selama berkarier sebagai profesional.  Sisanya didapat dari Hendarto (kini Presdir WCN) dan beberapa investor lain yang lebih senang namanya dirahasiakan.  "Sebenarnya kalau mau, bisa saja mendapatkan modal dari relasi, tapi saya lebih suka menjadikan mereka mitra," ujarnya.  WCN bergerak di bidang refinery --memproduksi stearinolein dan purified terephthalic acid. Perusahaan yang memperoleh modal kerjanya dari Bank Mandiri ini mulai beroperasi tahun 2000.

Selain urusan modal, kendala lain yang dihadapi Yudantara adalah mendapatkan lahan. "Ini akibat seretnya modal, sehingga harus diakali sedemikian agar bisa hidup dan berkembang daricash flow perusahaan," tutur Yudantara. Awalnya, WCN cuma berkantor di bedeng dekat pabrik.  Produksinya cuma 100 ton/hari.  "Itu sebabnya kami minta kepada pelanggan untuk membayar secara tunai," sambungnya.  Cara pengelolaan seperti itu rupanya berbuah manis. Cash flow  perusahaan aman dan perusahaan bisa tumbuh terus.  Menurut Yudantara, semua itu sedikit-banyak ditunjang oleh pengalamannya yang panjang di bidang yang dia tekuni.  Selain itu, WCN juga terbantu dengan jejaring yang telah dibangun selama ini, baik oleh dirinya sendiri selama menjadi profesional, maupun oleh Hendarto yang banyak punya relasi dari perusahaan consumer goods.

Dengan modal itu WCN tak sulit menjaring perusahaan besar untuk membeli produknya. Apalagi, sejak beroperasi WCN sangat peduli kualitas. Untuk bermain di pabrikan, dijelaskan Yudantara, harus punya kualitas berbeda dari produsen lain. Sebab, pelanggan akan membeli lagi bila kualitas minyak yang diproduksi memang bagus," ujar Yudantara. Dia memang tidak asal cuap.  WCN kemudian berhasil menjaring perusahaan besar nasional dan multinasional sebagai pelanggan tetap. Kini, perusahaan besar, semisal Danone, Kacang Garuda, Grup Wings dan Unilever telah menjadi pelanggan setia WCN.  Kepercayaan pelanggan itu dilengkapi pula dengan sertifikat Hazard Analysis Critical Control Point dari Belgia.  Untuk memperoleh sertifikat itu, menurut Yudantara, tidak semudah mendapatkan sertifkat ISO.  

Paparan di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa WCN, meski baru seumur jagung sangat piawai bermain di pasar yang telah dikenalnya. Tak heran, prestasinya terus melaju hampir tanpa gejolak. Pabriknya yang berlokasi di Kawasan Industri Pulo Gadung kini memiliki kapasitas produksi sekitar 400 ton/hari atau 12 ribu ton/bulan.  Bandingkan dengan tahun 2000 yang produksinya baru 100 ton/hari. "Semua produksi WCN diserap pasar dan tidak pernah idel," katanya bangga.  Yudantara memperkirakan, omset WCN kini Rp 25-30 miliar/bulan.  Pasar ekspor memberi kontribusi sekitar Rp 3,5 miliar.  Komisaris WCN itu menargetkan omsetnya tumbuh 20% tiap tahun.

Sukses menjaring klien korporasi, WCN belum tertarik menggarap pasar ritel.  Soalnya, di samping tenaga pemasarannya kurang, Yudantara menyebutkan, risikonya juga besar.  Apalagi, margin di ritel sangat tipis.  Beda dari pasar korporasi, satu kali kirim bisa 2-3 truk. Menurutnya, pasar ritel saat ini belum feasible bagi WCN.

Itu tak berarti WCN tidak perlu bekerja keras lagi untuk memperluas pasar. Dalam waktu dekat WCN bakal berekspansi ke produk margarin putih yang akan diekspor ke Cina. Saat ini pabriknya lagi dibangun. Investasinya sekitar Rp 10 miliar, sebagian merupakan pinjaman dari Bank Mandiri.  Diperkirakan Agustus tahun ini pabrik itu sudah bisa beroperasi. Produksinya?  "Target produksi, untuk tahun pertama sekitar 300 ton/bulan atau senilai penjualan Rp 6 miliar," ujar Yudantara. Sudah ada pasarnya?  "Saya optimistis tidak akan sulit memasarkannya. Yang pasti buyer saya di luar negeri akan menyerap produk ini," jawabnya mantap.

Nampaknya Yudantara masih punya energi ekstra untuk berekspansi ke bidang lain. Ini bisa dilihat dari langkah bisnisnya, di mana pada 2003 ia telah mengakuisisi sekitar 70% saham PT Internesea Bina Citra (IBC) -- perusahaan makanan ringan merek Kano -- senilai Rp 5 miliar.  Ini merupakan ekspansinya yang pertama di luar bisnis minyak kelapa sawit.  Alasan tertarik ke bisnis makanan, karena makanan selamanya dibutuhkan orang, apalagi makanan anak-anak.  Bila dikemas dengan baik, pasti dikonsumsi orang, baik untuk santai maupun travelling. "Makanan akan dibeli sebelum orang membutuhkan kebutuhan lainnya.  Apa pun jenis makanannya akan laku bila bisa inovatif," papar Yudantara sambil tersenyum. 

Di bisnis makanan ringan Yudantara juga berencana memiliki pabrik wafer dan jeli.  Rencananya, akhir tahun akan diproduksi secara outsourcing.  Paling tidak, investasi yang diperlukan buat pengembangan ke wafer dan jeli sekitar Rp 5 miliar.  Ia berharap suatu saat nanti bisa menjadi pemain yang diperhitungkan di bisnis makanan. Menurutnya, bisnis makanan mempunyai prospek yang bagus di kemudian hari seiring bertambahnya populasi dan kemajuan teknologi.  "Nantinya orang akan memilih makanan dalam bentuk kemasan yang simpel, gampang dan cepat," kata Yudantara.

Jaringan distribusi Kano -- kini baru dipasarkan di Jabotabek dan beromset sekitar Rp 15 miliar/bulan -? bakal dikembangkan sampai ke Ja-Teng dan Ja-Tim.  Beberapa produk baru nantinya seperti wafer dan jeli akan mengikuti jaringan distribusi Kano.  Untuk urusan pemasaran Kano, WCN kini telah memiliki seribu titik pemasaran dengan armada kanvas dan motor.  Yudantara mengakui saat ini promosi dan iklan Kano memang belum gencar, tapi nanti bila telah berhasil masuk ke Ja-Teng dan Ja-Tim, dia akan beriklan melalui media elektronik.

Kendati duet Yudantara dan Hendarto telah membawa WCN semakin jauh ke dalam industri makanan ringan, langkahnya di perkebunan tak pula berhenti.  Dengan kendaraan PT Sumber Abadi Tirta Sentosa (SATS) pada April 2004, mereka mengakuisisi beberapa perkebunan cokelat di Ja-Bar dan Lampung (2.500 ha), teh (800 ha) di Ja-Teng dan karet (160 ha).  Produksi cokelatnya diperkirakan 1.500-2.000 ton/tahun), teh 1.600 ton, sedangkan karet 150 ton.  Di perkebunan ini Yudantara menduduki posisi chairman dengan kepemilikan saham 51%.  Omset SATS, menurut Yudantara, sekitar Rp 35 miliar: Rp 20 miliar cokelat, Rp 12 miliar teh, dan sisanya dari karet.

Tak berhenti sampai di situ.  Bersama Hendarto, Yudantara berencana membuka perkebunan kelapa sawit seluas 10 ribu ha di Berau, Kalimantan Timur.  Perkebunan ini akan menelan investasi sekitar Rp 140 miliar: 70% dari pinjaman bank, sedangkan 30% dari kocek sendiri.  Saat ini baru tahap survei.

Sebagai wirausahawan, kendati usahanya terus berkembang dan meluas, Yudantara merasa kini lebih santai.  Soalnya, operasional perusahaan sudah diserahkan kepada profesional.  Sebagai contoh, dia menunjuk Hendarto, mitranya yang kini mengendalikan WCN sebagai CEO.  Lalu, Adi Kuncoro menjabat CEO Internesa dan Disa Suherdis (Presdir di salah satu perusahaannya yang membidangi bisnis perkebunan). 

Menurut Adi, Yudantara selalu menyerahkan operasional perusahaan kepada profesional. ?Pak Yuda bisa percaya sama anak buah,? tandasnya. Dengan cara itu, ia pun optimistis bisnis yang ditekuni putra Bali ini dapat berhasil, meskipun ia tidak terjun langsung. Di Internesa, misalnya, lanjut Adi, Yudantara hanya memberikan kebijakan dan pandangan garis besarnya, tidak mau mencampuri urusan yang detail.

Maka, tak heran ia tak perlu menghabiskan waktunya di kantor. "Saya di kantor pukul 10.00-12.00.  Selebihnya saya pakai menjalin hubungan dengan relasi dan mencari peluang guna mengembangkan usaha.  Sorenya sekitar jam 18.00 saya sudah di rumah bersama keluarga," katanya ringan.  "Saya merasa lebih secure, rileks dan bebas berpikir, sehingga hidup lebih nyaman," sambung Ketua Alumni Instiper 2003-08 itu sambil tertawa kecil.

Ke depan,  Yudantara berencana memperbesar industri makanannya tanpa meninggalkan perkebunan.  Bisa jadi, dia akan masuk ke bisnis mi dan saus.  Menurutnya, dari unit usaha yang ada saat ini, kontribusi terbesar berasal dari WCN.  Berencana membuat holding company?  "Bila semuanya sudah berjalan bagus, kami akan membuat holding tersendiri baik buat makanan maupun perkebunan," ia menegaskan.



SUMBER URL : http://202.59.162.82/swamajalah/portofolio/details.php?cid=1&id=848 

Comments