Jumat 20 februari 2014
kemarin, Denpasar diguyur hujan deras selama beberapa jam. Terhitung
sejak pagi hingga siang hari, hujan lebat terus mengguyur ibu kota
provinsi Bali tersebut. Seperti yang diberitakan oleh koran Tribun Bali,
hujan lebat tersebut menyebabkan hampir sebagian besar wilayah pusat
kota Denpasar mengalami banjir hingga setinggi 70 cm. Alhasil, banjir
yang sangat jarang atau dapat dikatakan belum pernah terjadi separah ini
di Denpasar menyebabkan kemacetan arus lalu lintas yang luar biasa
disekitaran kota Denpasar. Para pengguna internet pun ramai ramai
mengunggah foto foto banjir tersebut dan menunjukan keheranan mereka.
Selama ini, kota
Denpasar merupakan cerminan salah satu kota di Indonesia yang
penataannya dilakukan dengan berwawasan budaya lokal yang sangat kental.
Sehingga banjir kemarin yang terjadi di Denpasar cukup menganggetkan
warga kota Denpasar. Berbeda dengan kota Jakarta yang mengalami masalah
pelik seperti pemukiman kumuh disekitar bantaran kali atau sungai, di
kota Denpasar tidak terdapat pemukiman kumuh seperti itu. Lantas, timbul
pertanyaan apakah penyebab terjadinya banjir di kota Denpasar padahal
hanya diguyur hujan deras selama beberapa jam saja?
Tentu semua orang akan
setuju bahwa penyebab banjir yang terjadi tersebut karena
ketidakmampuan air hujan untuk meresap karena kekurangan area resapan.
Pertanyaan sekarang apakah penyebab berkurangnya daerah resapan air
tersebut? . Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab utama
berkurangnya daerah resapan air di kota Denpasar seperti yang
diungkapkan oleh Pakar Tata Ruang Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir.
Putu Rumawan Salain M.Si kepada koran Tribun Bali [1] kemaren di
denpasar. Penyebab yang pertama adalah pembangunan yang terjadi di
Denpasar sudah sangat melebihi kapasitas (over capacity) yaitu sudah
sekitar 60 persen dari total luas kota Denpasar merupakan bangunan beton
bukan lahan terbuka hijau. Kemudian, tren yang terjadi di masyarakat
Bali saat ini adalah tren untuk membeton halaman rumahnya dengan batu
atau paving sehingga air hujan tidak mampu meresap secara langsung di
halaman rumah akan tetapi langsung mengalir ke drainese atau selokan
kecil yang biasanya terdapat disetiap perumahan warga di Denpasar. Akan
tetapi, kecilnya daya tampung drainese ditambah dengan banyak warga yang
suka membuang sampah di dalam selokan membuat air meluber ke jalanan.
Hal-hal tersebutlah
yang diyakini sebagai penyebab terjadinya banjir pada hari Jumat
kemarin. Cukup logis bukan ? Akan tetapi permasalahan tersebut bagi
orang Bali bukanlah masalah yang sederhana. Sudah diketahui bersama
bahwa masyarakat dan penduduk asli Bali terkenal sangat teguh memegang
adat dan budaya leluhur mereka. Setiap tindakan, perbuatan dan tingkah
laku orang Bali pada umumnya selalu didasarkan pada ajaran moral, sikap
dan tatakrama yang berasal dari budaya serta agama yang digariskan
secara turun temurun. Untuk konsep berkehidupan secara umum masyarakat
Bali mengenal konsep Tri Hita Karana yaitu suatu konsep yang menjelaskan
dan mengatur agar kehidupan masyarakat di Bali dapat berjalan sejalan
dan selaras sehingga mampu terbentuk suatu keharmonisan. Nah dalam
konsep ini, selain mengatur hubungan manusia dengan Tuhan atau yang
disebut dengan “Parahyangan”, hubungan manusia dengan sesama manusia
yaitu “Pawongan” , juga mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya
atau yang dikenal dengan istilah “Palemahan”. Sehingga muncul suatu
pertanyaan, apakah bencana Banjir yang terjadi kemarin di Denpasar,
dapat menjadi suatu acuan atau contoh bahwa sesungguhnya konsep “Tri
Hita Karana” masyarakat Bali utamanya konsep “Palemahan” sudah pudar
atau bahkan seburuk-buruknya telah dilanggar?. Dalam konsep palemahan,
masyarakat Bali diajaran untuk benar benar menjaga lingkungan secara
baik. Misalnya dalam suatu aturan membuat perumahan tradisional Bali,
yang disebut dengan Asta Kosala Kosali, jelas disebutkan aturan rasio
halaman terbuka, jarak antara bangunan yang satu dengan yang lain dan
aturan untuk membuat sistem pembuangan limbah. Kasus banjir yang kemarin
terjadi tersebut tentunya tidak dapat dianggap sepele. Dapat dikatakan,
inilah sebuah contoh nyata bahwa sejatinya konsep Tri Hita Karana yang
adi luhung tersebut sudah terkikis dan terlanggar secara perlahan oleh
masyarakat Bali sendiri dibalik gagahnya alasan untuk tujuan
pensejahteraan masyarakat Bali dengan melakukan proses pembangunan.
Beberapa
tahun terakhir, pembangunan terjadi secara besar besaran di wilayah
Bali khususnya di wilayah Bali selatan yaitu Denpasar dan Badung. Sebut
saja, beberapa pusat perbelanjaan, Pembangunan Tol diatas laut dan juga
yang sedang ramai disuarakan untuk di tolak, yaitu
reklamasi Teluk Benoa. Sudah sangat jelas, hal ini merupakan suatu
bentuk ketimpangan pembangunan. Lihat saja Bali Utara, bisa dikatakan
daerah Bali utara sangat-sangat kurang berkembang dan dikembangkan,
alhasil penduduk Bali Utara lebih banyak hijrah dan bekerja di daerah
Bali selatan. Dampaknya nyata, kepadatan penduduk terpusat di Bali
selatan, kemacetan, pembangunan besar besaran untuk menopang ekonomi
pariwisata yang terus menggeliat dan juga Banjir.
Masyarakat Bali
sebaiknya lebih cepat sadar dan mawas diri. Kembali ke jati diri, bahwa
pembangunan untuk menopang kesejahteraan masyarakat sah-sah saja asalkan
tetap berpacu pada budaya dan adat , dan harus mulai berbenah.
Harapannya agar bencana ini dapat segera ditanggulangi sehingga tidak
terulang kembali. Bencana banjir kemarin adalah sebuah tamparan untuk
masyarakat Bali. Kembali ingat bahwa yang membedakan masyarakat Bali
dengan masyarakat lainnya, adalah bahwa masyarakat Bali terkenal sangat
teguh memegang dan mengaplikasikan budaya, adat istiadat serta ajaran
adi luhung leluhur terdahulu. Ingat bahwa pada mulanya turis dan
wisatawan pun berkunjung ke Bali adalah dengan hasrat ingin melihat
kehidupan budaya adat dan agama masyarakat Bali bukan ingin melihat
menjamurnya resort dan hotel hotel megah yang pembangunannya membabi
buta seperti sekarang. Terakhir : jangan tinggalkan Tri Hita Karana.
Sumber informasi
Comments
Post a Comment