Sebelumnya , turut berduka cita yang sedalam dalamnya untuk musibah kecelakaan Pesawat yang dialami oleh Air Asia. Semoga ini merupakan kecelakaan transportasi yang terakhir kalinya terjadi di Indonesia bahkan di Dunia.
Saya akan membagikan sedikit kisah yang saya alami ketika menggunakan sistem transportasi kereta di Eropa.
Pada akhir bulan desember tahun kemarin, saya dan seorang teman, sebut saja Teguh (bukan nama samaran), menyempatkan diri untuk berwisata ke Brussels, Belgia ya hitung hitung untuk melepas penat dan juga ingin menikmati suasana Ibu Kota Uni Eropa yang sangat terkenal itu. Telah kami rencanakan perjalanan tersebut sehari sebelumnya dan kami putuskan untuk menggunakan kereta. Kami berangkat dari stasiun utama kota Aachen, Jerman. Perjalanan kira kira menempuh waktu sekitar satu setengah jam. Semua yang kami rencakan sehari sebelumnya berjalan sesuai rencana, dimana kami tiba tepat waktu, mengunjungi hampir semua obyek wisata yang direkomendasikan oleh website tourism pemerintah Belgia dan juga mencicipi makanan khas Belgia yaitu Waffel dengan coklat khasnya.
Tak terasa kurang lebih 12 jam kami berkeliling di kota yang terkenal dengan patung dan cerita “Manneken Pis” nya tersebut, tiba saatnya kami pulang yaitu kembali ke Aachen. Kami sudah memesan tiket bersamaan dengan kami memesan tiket keberangkatan namun berbeda operator kereta. Meskipun ketika berangkat kami menggunakan kereta jenis ICE dari Deutsche Bahn milik pemerintah Jerman dan juga memesannya secara online dari website Deutsche Bahn itu sendiri, perjalanan kami pulang kembali ke Aachen akan menggunakan kereta dari otoritas negara Belgia. Ya salah satu keuntungan dari dibuatnya Uni Eropa ini, selain visa dan mata uang, salah satu yang terintegrasi adalah sistem transportasi keretanya.
Untuk antisipasi agar tidak terlambat untuk perjalanan pulang, kami sudah tiba sekitar 30 menit sebelum kereta yang rencananya akan kami tumpangi berangkat dari stasiun utama kota Brussels. Kami melihat di jadwal yang terpampang di peron, jadwal kereta kami sudah terlihat di layar disana. Namun ada sedikit kejanggalan, terdapat tanda bintang di jadwal tersebut. Kami sedikit panik, dan si Teguh bergumam” Ini kenapa ya kok kereta kita ada tanda bintangnya?” sembari melihat kamus karena dibawahnya terdapat kata dalam bahasa Perancis dan Belanda, lalu kata dia “ Klo itu yang bahasa Belanda, klo dipaksa diterjemahkan kedalam Bahasa Jerman artinya di Cancel” dia mulai panik.
Saya berusaha tenang. “ Bagaimana kalau kita tunggu dulu sampai jam yang terpampang di tiket kita ?” padahal sebenarnya panik juga, tidur di stasiun kan gak lucu, saat saat musim winter begini , “Oke”, kata Teguh. Kami menunggu hingga jam menunjukan waktu yang sama antara jam di stasiun dengan jam di tiket kita. Oke mungkin telat 5 menit, kami menunggu. 15 menit berlalu, kereta kami tidak lewat juga. 30 menit berlalu, datanglah sebuah kereta di peron kami menunggu tapi bukan kereta yang harusnya kami naiki. “Oke sekarang ini benar benar masalah” kata saya. Kami kemudian berlari menuju petugas yang terdapat di dalam gedung stasiun. Saya kemudian mengungkapkan masalah yang kami hadapi bahwa kereta kami tidak kunjung tiba. Petugas tersebut lalu mengecek tiket kamu dan kemudian mengeceknya secara online, “Oke sepertinya kereta kamu di Cancel”. Kemudian saya bertanya, “ Apa yang sebaiknya kami lakukan?” dengan friendly dia menjelaskan, “Kamu sekarang ke peron tempat kamu nunggu tadi, cari petugas peronnya , ada di kantor di tengah-tengah peron, dia yang akan memberikan solusi, tapi saya pastikan kamu tiba malam ini di Aachen”. Kami kemudian bergegas kesana, masuk keruangannya dan ungkapan permasalahan kami. Petugas disana berkata, “ Tunggu sebentar , saya carikan solusinya”. Dia memalingkan mukanya ke arah salah seorang petugas di sampingnya, menggunakan bahasa Belanda dia berbicara sebentar,lalu kemudian dia mengangkat telepon di depannya. Dia letakan kembali teleponnya, agaknya nomor yang dituju sedang sibuk. Dia memalingkan mukanya kehadapan kami lagi, dalam bahasa Inggris dia berkata, “ Solusinya adalah saya akan naikan kamu ke kereta tercepat yang ada saat ini, karena jadwal kereta ke aachen sudah tidak ada lagi, kami akan turunkan kamu di stasiun terdekat dari kota Aachen, lalu kami antarkan dengan Taksi hingga stasiun Aachen”. “ Saya sedang berusaha menghubungi petugas Peron di sana, sehingga kalian ketika sampai disana langsung diurus dan dicarikan Taksi oleh dia”, kata dia lagi.”Itu prosedur yang dapat kami lalukan ketika terjadi pembatalan kereta seperti ini” tambah dia lagi. Kami pun setuju. Kemudian dia kembali mengangkat telepon yang terdapat di depannya, dalam bahasa Perancis dia berbicara dengan seseorang di seberang telpon tersebut. Saya bergumam dengan Teguh dalam Bahasa Bali, “ Gila juga ini orang, 3 Bahasa dalam beberapa saat hahaha” sedikit ngelawak untuk mengaburkan kepanikan yang kita hadapi karena terancam tidur di stasiun. Petugas Peron itu lalu menutup teleponnya dan berkata “ Oke, saya sudah konfirmasi, kalian akan berangkat 30 menit lagi, menggunakan kereta ini, sampai di dua stasiun sebelum stasiun kota Aachen, ini jadwalnya saya akan printkan”. “ Sampai sana, cari petugas peron yang menggunakan topi sama seperti yang saya gunakan ini”. “ Oke sip” kata kami. Ada perasaan lega, setidaknya kami akan tetap sampai di kota Aachen malem ini.
Kemudian setelah menunggu beberapa saat, kereta yang dimaksud tiba, kami berangkat dan akhirnya tiba di dua stasiun sebelum stasiun kota Aachen. Dari sana, kami disewakan taksi yang sepenuhnya dibayarkan oleh pihak manajemen kereta itu sendiri. Hari itu kami tiba kira kira 2 jam lebih lambat dari jadwal semula. Tapi tak mengapa, mengingat pelayanan yang diberikan sangat baik.
Saya kemudian teringat dengan sistem pelayanan transportasi udara di Indonesia, terutama ketika terjadi delay saat saya terbang menggunakan maskapai berbiaya murah dari Jakarta ke Denpasar. Jangankan pelayanan dijemput dengan taksi atau diberikan makanan, kepastian akan ada atau tidaknya penerbangan pun tidak jelas. Petugas yang harusnya bertanggung jawab memberikan kepastian kepada penumpang seolah-olah lepas tangan dan saling melempar tanggung jawab. Alhasil, para penumpang sudah berkorban banyak waktu dan tenaga, juga dilempar kesana kemari layaknya bola pingpong tanpa adanya kepastian. Berbeda sekali dengan pengalaman saya bulan desember kemarin, petugas yang ada merasa sangat bertanggung jawab, kemudian menjalankan semua standar prosedur ketika terjadi pembatalan jadwal kereta. Kenyamanan penumpang di prioritaskan karena hal tersebut bukan merupakan kesalahan penumpang melainkan kesalahan operator transportasi itu sendiri.
Saya teringat kata-kata Menhub Jonan yang saya baca disuatu media, ketika beliau menjabat sebagai Dirut PT KAI, bahwa yang “dijual”oleh PT KAI itu bukan tiket kereta, tapi Pelayanan, sehingga kenyamanan penumpang harus diutamakan.
Semoga saja, saya berharap di tahun kambing kayu ini, pelayanan transportasi di Indonesia berbenah terus ke arah yang lebih Baik dimana kualiatas pelayanan terhadap penumpang menjadi prioritas utama selain juga tingkat keamanan dan keselamatannya
Comments
Post a Comment