Rabies dan Pembantaian Massal Anjing di Bali ( bagian 2 - Pengertian Rabies)

Untuk mendapatkan kesimpulan dan saran yang matang,saya terlebih dahulu melakukan beberapa penelusuran literatur mengenai penyakit rabies ini. Berikut hasilnya :

Rabies 


Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010).  Rabies disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999).  Virus rabies di keluarkan bersama air liur hewan terinfeksi dan ditularkan melalui luka gigitan atau jilatan.  Rabies sangat penting artinya  bagi kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia  dan tidak  sempat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan  kematian dengan gejala klinis yang mengharukan dan bersifat fatal (Adjid, et al., 2005; Bingham, 2005; Dietzschold et al., 2005; Miah et al., 2005; Rupprecht et al., 2001).   


Anjing yang terinfeksi virus Rabies

Masa Inkubasi dan Gejala Klinis Rabies 


Masa inkubasi dan gejala klinis rabies bervariasi pada spesies satu dengan lainnya.  Menurut Hiswani  (2003), masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 8 minggu.  Pada sapi, kambing, kuda, dan babi berkisar  antara 1 sampai 3 bulan. Peneliti lain mengemukan bahwa massa inkubasi anjing penderita rabies kurang dari 10 hari (Tepsumethanon et al., 2004; 2008). Masa inkubasi rabies pada manusia juga bervariasi.  

Struktur Virus Rabies


Masa inkubasi rabies pada manusia kurang dari 30 hari ditemukan sebanyak  25%, 30 hari sampai 90 hari sebanyak 50%, 90 hari sampai 1 tahun sebanyak 20%, dan lebih dari 1 tahun sebanyak 5% (Transfuzion, 2009).  Peneliti lain mengemukakan bahwa masa inkubasi rabies pada manusia berkisar antara 30 hari sampai 90 hari, namun ada yang 4 hari sampai beberapa tahun, dan cendrung lebih singkat pada gigitan di muka dari pada di tungkai (WHO., 2010). 

Gejala klinis rabies pada anjing  dan kucing hampir sama.  Triakoso (2007), mengemukakan bahwa Gejala klinis rabies dikenal dalam dua bentuk yaitu bentuk ganas dan bentuk diam. Pada rabies bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam dua sampai lima hari setelah tanda-tanda rabies terlihat.  Sedangkan pada rabies bentuk diam atau dungu (dumb rabies) terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek. 

Perjalanan penyakit rabies pada  anjing dan kucing dibagi dalam tiga tahap/phase (Triakoso, 2007;CIVAS., 2010) yaitu phase prodormal, dilanjutkan ke phase eksitasi, dan phase paralisa.  Pada phase  prodormal hewan mencari tempat dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervus, pupil mata melebar, dan sikap tubuh kaku (tegang).  Phase ini berlangsung selama satu sampai tiga hari.  Pada phase eksitasi hewan menjadi ganas dan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka serta tubuh gemetaran, kemudian masuk ke phase paralisa.  Pada phase paralisa hewan mengalami kelumpuhan pada semua bagian tubuh dan berakhir dengan kematian. 
Contoh Hewan penyebar Rabies


Gejala klinis rabies pada hewan pemamah biak adalah gelisah, liar, adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang, dan akhirnya hewan mati.  Pada hari pertama atau kedua gejala klinis biasanya tempratur normal, anorexia, ekspresi wajah berubah dari biasanya, dan sering menguap (Hiswani, 2003). 

Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies 

Strategi pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan umumnya dilakukan melalui program vaksinasi massal.  Rabies dapat diberantas dengan cakupan vaksinasi yang memadai pada  anjing berpemilik dan pengendalian populasi anjing jalanan (stray dog).  Jepang berhasil bebas dari rabies sejak tahun 1957 dengan melakukan kontrol legislasi yang kuat, termasuk sistem karantina dan vaksinasi pada anjing setiap tahun  (Inoue, 2003). Kunci utama dalam menangani rabies adalah mencegah pada sumbernya yaitu hewan.  Sesuai dengan pedoman  pengendalian rabies terpadu, metoda pemberantasan rabies dilakukan dengan a) vaksinasi dan eliminasi dilakukan pada anjing, kucing, dan kera dengan fokus utama pada anjing, b) vaksinasi dilakukan terhadap anjing dan kera berpemilik, dan c) eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing berpemilik yang tidak divaksinasi/diliarkan (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006). 

Upaya untuk mengendalikan rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil, bahkan didaerah-daerah tertentu kasus rabies semakin meningkat (Adjid  et al.,   2005).  Demikian juga halnya yang terjadi di Bali, terbukti dengan semakin luasnya wilayah yang terkena rabies. Secara laboratorium seluruh kabupaten/kota di Propinsi Bali sudah tertular rabies sejak Juni 2010.  Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang rendah (kurang dari 70%) atau  vaksin yang digunakan hanya mampu memberikan kekebalan dalam waktu yang relatif singkat.   Cakupan vaksinasi minimal 70% telah dibuktikan di banyak  negara berhasil mencegah terjadinya wabah. 

Namun demikian pemberantasan rabies tidak hanya tergantung pada masalah anjing, tetapi juga menyangkut masalah manusia.  Pada dasarnya keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat.  Perlu ada perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku. Kewajiban yang dimaksud antara lain mengandangkan atau mengikat anjing yang dimiliki, merawat dan menjaga kesehatannya, serta memvaksinnya secara rutin.  Hal ini akan membantu petugas pengendali rabies menjadi lebih mudah mengatasi keadaan. 

Vaksin Rabies 

Vaksin rabies sudah mengalami beberapa tahap perubahan dalam proses pembuatannya.  Sejarah vaksin rabies diawali oleh Louis Pasteur yang membuat attenuated live vaccine pada tahun 1980-an.  Seiring dengan berjalannya waktu vaksin rabies terus mengalami modifikasi.  Pada tahun 1908 Enrico Fermi berhasil membuat  killed vaccine yang pertama, menggunakan phenol untuk menginaktivasi virus (Wilde, 2009). Peneliti lain, Hiswani (2003) mengemukakan bahwa vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879, dibuat pertama kali oleh Victor Galtier.    Kemudian pada tahun 1958 Kissling membiakkan virus rabies challenge virus standar (CVS) pada biakan sel ginjal anak hamster.  Selanjutnya pada tahun 1963 Kissling dan Reese berhasil membuat vaksin rabies inaktif menggunakan virus rabies yang dibiakkan pada sel ginjal anak hamster (BHK). 
Vaksin Rabies

Di Indonesia vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi sejak tahun 1967 oleh Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya, menggunakan  fixed virus rabies.  Sebagai media untuk membiakkan virus rabies digunakan otak kambing/domba umur 3 bulan.  Vaksin  yang dihasilkan diberi nama paten Rasivet.  Aplikasi vaksin tersebut melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis 4 ml.  Masa kebal vaksin Rasivet relatif pendek yaitu 6 bulan (Hiswani, 2003).  Lebih lanjut dikemukakan bahwa sejak  tahun 1983 pembuatan vaksin rabies di Pusvetma menggunakan biakan sel sebagai media pertumbuhan virus rabies.  Setelah melalui rangkaian percobaan maka pada tahun 1984, Pusvetma telah mengeluarkan vaksin rabies yang menggunakan biakan sel sebagai tempat pembiakan virus yaitu vaksin Rabivet.   Namun vaksin ini menimbulkan masalah dilapangan yaitu beberapa daerah melaporkan adanya endapan warna hitam pada dasar vial.  Selanjutnya Pusvetma memproduksi vaksin rabies yang diberi nama Rabivet Supra92.  Dibandingkan dengan vaksin Rabivet maka vaksin Rabivet Supra92 mempunyai kandungan protein yang  jauh lebih rendah yaitu 2 mg/ml.  Dengan turunnya kandungan protein diharapkan tidak terjadi reaksi anafilaksis dan tidak menimbulkan rasa sakit pada  suntikan.  PH vaksin juga menunjukkan kestabilan yaitu kurang lebih 7 sesuai dengan pH tubuh (Hiswani, 2003). 
Vaksinisasi Rabies pada Anjing

(BERSAMBUNG...)


Comments